Arti sebuah keluarga agaknya menjadi perspektif yang berbeda bagi
setiap kepala. Dalam hidup kata keluarga akan melekat dengan erat,
seperti teman dan sahabat. Kita bisa berteman sepi, dan bersahabat
dengan sunyi, namun keluarga tiada terganti.
Ada seorang pria
pemimpi, yang tak hijau melihat harta. Dalam riak teriakan gembira,
lautan emas tak lebih menyilaukan dari mimpinya. Saat mereka bertanya
“Kenapa kau diam saja?”, sambil menopang dagu ia bicara “Aku tidak
tertarik dengan harta”. Kembali terlontar tanya “Lantas apa yang kau
inginkan?”, dan pria itu tersenyum dan menjawab “Keluarga, aku ingin
sebuah keluarga”.
Gelak tawa pecah meriah, seisi kapal tergeletak
kegelian. Tidak ada bajak laut sepertinya, bajak laut yang menginginkan
keluarga. Namun ia tak marah, karena baginya bahagia jika semua senang
karenanya.
Bukan lelucon, mimpi sederhana itu membawanya pada
takdir luarbiasa. 14 orang anak yang memimpin setiap armada,
dijadikannya sebagai panjang tangan atas kuasa. Dia berdiri sejajar
dengan sang Raja, ditakuti lawan, disegani kawan, dan dihormati
rivalnya.
Semua rival menghormatinya, karena dia bukan musuh
biasa. Dia adalah musuh yang lebih mengerti dari teman, dan lebih
sensitive dari sahabat. Dia tak silau akan tahta, bahkan ketika Raja
tiada, dia tak kunjung naik tahta. Dia ada, disana tepat di depan
singgana, namun ia tak kunjung duduk. Dia tak menganggap kursi dan
mahkota itu miliknya, meski yang ia butuhkan hanya 1 langkah saja.
Ini adalah kisah Pak Tua baik hati…
Dia sangat menghormati Raja, rival, teman, sahabat, sekaligus
keluarganya. Bahkan si Raja hendak menganugerahinya kunci istana, namun
ia tersenyum dan berkata “Aku tidak tertarik dengan itu semua”. Dia
adalah pak tua baik hati, setiap percik kembang api yang punya potensi
membakar dia dekati. Diulurkan tangannya, ditundukkan wajahnya,
tersenyumlah ia… “Jadilah Anakku”, ia berkata.
Dia berdiri di
depan markas keadilan yang licik. Dengan dongak dagu dia tersenyum
dihadapan tikus yang menatapnya jijik. Dia menatap sosok putranya yang
berlutut tak berdaya, dan dengan senyum khasnya “Bagus, kau baik-baik
saja”.
Sang Raja Tanpa Mahkota, mungkin begitu pantas kita
memanggilnya. Merawat anak pipit dan merubahnya menjadi elang, merawat
kadal dan merubahnya menjadi buaya. Merawat anak musuh dan menjadikannya
putra kesayangannya. Bahkan ia tak segan merawat benalu, yang kemudian
mengacaukan semua. Tegak berdiri menerjang, bayangannya membuat lutut
setiap orang gemetar.
Tak ada rasa takut, tak ada rasa ragu, dia hanya menatap putranya dan berkata “Tunggu sebentar, ayo kita pulang!”.
Putra gugur saat kemenangan diujung lidah. Tapi ia belum kalah, dia jaga percikan kembang api yang hendak meredup itu.
Sekuat apa dia? Hingga dunia takut padanya? Sehebat apa dia? Hingga
semua musuh menghormatinya? Seterang apa dia? Hingga kilau cahayanya
terangi banyak hati.
Dia bisa meretakan udara dan mengguncang dunia…
Dia membelah langit ketika tombaknya beradu dengan pedang rivalnya…
Dia merebut sebuah pulau dan mengembalikan hak penduduknya…
Dia adalah musuh bagi keadilan namun keadilan bagi musuh…
Dia adalah neraka yang membawa surga…
Dia adalah tua Bangka yang berdiri sejajar dengan Sang Raja…
Dia yang masih bertarung saat kehilangan separuh wajahnya…
Dia yang masih bertarung dengan 2 luka menganga di dada…
Dia yang 46 kali ditembak meriam, 152 kali ditembak senapan, 267 kali tersabet pedang…
Berdiri dengan keteguhan…
Di hadapan jasad sang putra yang gagal ia selamatkan, dia menggetarkan langit…
Seakan langit turut merasakan kesedihannya…
Di hadapan benalu dia berkata “Bukan kau! Bukan kau orangnya! Bukan kau yang dinanti Sang Raja!”…
Dengan sisa kekuatan dia menikam keadilan…
“Kau tahu, kalian tahu itu… tentang apa yang akan terjadi… tentang
harta yang dipendam Sang Raja, datang! Hari itu akan datang! Hari yang
kalian semua takutkan akan datang! Ketika seseorang menemukannya! Ketika
perang besar akan datang! ONE…PIECE… BENAR – BENAR ADA!”
Dan kemudian mati tegak beridiri…
Langit merundung duka, 43 armada larut dalam kesedihan. Sementara
congkak keadilan umumkan kemenangan. Apa yang telah ia lakukan adalah
hal yang hampir sama saat Raja diujung ajal. Sekali lagi zaman berubah,
Raja kedua mati tanpa pernah menduduki singgasana.
Kursi yang ia miliki dibiarkan kosong begitu saja. Harta Raja yang selama ini ia jaga kini bebas tak terkekang.
Bahkan rival berdatangan, menyaksikan Pria Tua meninggalkan lautan. Dia
yang memiliki segalanya, dia yang menolak untuk naik tahta telah tiada.
Sekali lagi lautan bergemuruh, era baru telah dibuka.
Pria tua bersemayam disamping putra tercinta, menyaksikan para pemimpi dari alam yang berbeda…
Akhirnya dia kembali bersanding dengan Sang Raja.. Rivalnya, Sahabatnya..
Kisahnya tak akan pernah bisa terlupa, hingga dunia nyata pun mengenang kematian dia dan putranya…
Sebuah monumen berdiri di negeri sakura, nisan indah yang selalu berhias bunga…
Selamat Jalan Pria Tua, Shirohige yang perkasa…